Rabu, 16 Mei 2012

Masyarakat Aceh Lupa akan Sejarah Bangsanya


Bendera AcehBangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa melupakan sejarah bangsanya. Bangsa yang besar, juga bukan bangsa yang terbuai dengan kemegahan sejarah masa lalu. Namun peristiwa inilah yang terjadi pada masyarakat Aceh hari ini.

Sebahagian masyarakat kecenderungan terbuai dengan masa ke-emasan Kerajaan Aceh dibawah kendali Sultan Iskandar Muda. Namun sebahagian lagi bahkan telah melupakan sejarah bangsa sehingga menjadi factor utama keterpurukan bangsa ini.

Sikap mengagungkan kejayaan masa lalu tanpa adanya petikan hikmah dan semangat melakukan perubahan dinilai telah menyebabkan Aceh kian jatuh dan terpuruk selama puluhan tahun belakang. Kondisi ini, kian ditambah dengan konflik serta gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di akhir tahun 2004 lalu.

Beberapa peninggalan sejarah di Aceh, seperti makam raja-raja terdahulu, makam ulama besar seperti Syiah Kuala, kini terabaikan. Benteng Indra Patra, indra purwa serta benteng pertahanan yang terdapat di pesisir Aceh Besar, diterlantarkan, sedangkan peninggalan lain, seperti Aceh Hotel, kini telah lenyap tak tersisa.

Bukan cuma itu, pembelajaran tentang sejarah yang minim di tingkat sekolah juga menyebabkan para generasi mudah lupa akan sejarah bangsa. Kondisi ini kian ditambah, dengan minimnya pembukuan tentang sejarah local itu sendri, jual-beli manuship berharga serta ditambah sikap apatis pemerintah dalam merawat peninggalan bersejarah.

Dengan kondisi yang sedemikian kompit, maka pantaslah Aceh diklaim sebagai salah satu daerah yang kurang menghargai jasa para pendirinya. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama sehingga sumber-sumber sejarah yang semestinya mash tertata rapi, kini raib.

Keadaan seperti ini berbeda jauh dengan Negara-negara maju yang melestarikan peninggalan sejarahnya.

Makam Syiah Kuala Yang Terabaikan
Keberadaan Makam Syiah Kuala atau Syech Abdulrauf As-Singkili d Desa Tibang, Kota Banda Aceh, sebenar adalah salah satu bukti dan bentuk penelantaran dari Pemerintah.

Pemugaran Komplek Makam Syiah Kuala yang merupakan salah satu situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004 dinilai masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

Kondisi ini terlepas dari adanya sengketa kepengurusan antara Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan Yayasan Makam Syiah Kuala (Yamsika) yang kini mengelola komplek tersebut.

Menurut, Drs. H. Machmud Ika, Ketua Yamsika, Makam Syiah Kuala yang merupakan salah satu situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004 dinilai masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Namun hingga kini belum ada pihak-pihak yang berniat untuk kembali memugarkannya.

Padahal, peran Syech Abdulrauf atau Syiah Kuala bagi masyarakat Aceh, semasa hidupnya sangatlah besar. Syiah Kuala pernah menjabat sebagai kadhi malkul adil di Kerajaan Aceh pada masa Iskandar Muda hingga Sultanah Kamalatuddin Inayat Syah (baca buku A. Hasyimi, dengan judul 69 tahun Aceh merdeka dibawah pemerintahan para ratu-red).

Syiah Kuala juga pernah menjadi guru besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Serambi Mekkah ini, sehingga namanya diabadikan sebagai nama salah satu universtas terbesar Aceh (Unsyiah-red). Namun semua pengabdiannya tersebut sepertinya tidak penting, sehingga kondisi makamnya saja masih kurang perawatan.

“Kondisi ini kian ditambah dengan adanya sengketa kepengurusan antara Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan kami,” ucap Machmud, beberapa waktu lalu.

Kata dia, akibat adanya sengketa ini, membuat sejumlah donator dan pihak luar yang ingin membangun dan memugarkan komplek makam itu, selalu kesulitan memperoleh izin dari pemerintah. situs sejarah yang seharusnya terlindungi, akhirnya terabaikan.

“Ini yang sangat kami sayangnya. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dan badan pelayanan perizinan terpadu, sepertinya selalu mempersulit pengeluaran izin pemugaran dan renovasi Komplek Makam Syiah Kuala ini,”jelas Machmud.

Katanya, beberapa waktu lalu, telah ada donator dari Malaysia, bernama H.W.M Fadzil.Z yang ingin memugarkan kompek situs sejarah ini kembali. Rencananya, pembaikan yang direncanakan, memakan biaya hingga ratusan juta rupiah ini akan dilaksanakan pada pertengahan desember 2009 ini.

“Namun karena tidak ada izin, terpaksa kerjasama ini tertunda. Kami berharap ada perhatian khusus dari Gubernur dan Wakil Gubernur mengenai hal ini,”tuturnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pelayanan Terpadu, Drs. Muhammad Yahya, M.Si, melalui surat bernomor 432.2/BP2T/1178/2009 yang ditunjukan kepada Ketua Yamsika, tertanggal 16 Desember, menjelaskan bahwa penolakan izin pemugaran dan pencarian donatur oleh pihaknya, karena adanya surat pertimbangan teknis dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

“Surat tersebut berisi bahwa Yayasan Yamsika bukanlah ahli waris Makam Syiah Kuala. Atas dasar tersebut, kami tidak bisa memberi izin,”tulisnya.

Sementara Kondisi makam yang hanya dipalangi dengan kayu bercat putih, memberi gambaran ketidak sesuaian antara kiprah sosok Syiah Kuala masa hidupnya dengan kondisi kekinian.

Wisata Sejarah Masih Kurang Diperhatikan
Tidak hanya Makam Syiah Kuala. Banyaknya warisan budaya dan situs sejarah penting yang terdapat di Provinsi Aceh hingga kini, dinilai juga belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sejumlah situs-situs sejarah yang terdapat di Aceh, bahkan terkesan masih terabaikan dan kurang diperhatikan oleh pemerintah.

“Padahal jika dimanfaatkan secara maksimal bisa jadi sebagai pemasukan devisa negara terbesar. Ini keunggulan kita yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah,”ucap Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag, Dekan Fakultas Adap IAIN Ar-Raniry, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, peninggalan sejarah itu seperti Benteng Indra Patra yang terdapat di Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar. Kemudian ada juga peninggalan sejarah lainnya, seperti benteng pertahanan masa peperangan Aceh yang terdapat di sepanjang pesisir Aceh Besar, tetapi kurang mendapatkan perawatan dan hampir hancur karena rusak.

“Banyak situs sejarah lainnya yang memiliki makna sejarah tinggi, tetapi kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Hal ini sangat kita sayangkan terjadi,”jelas dia.

Katanya lagi, sejumlah negara-negara maju dan berperadaban tinggi, seperti Mesir, hingga hari ini masih mempertahankan peninggalan sejarahnya. Sejumlah tempat pengawetan Mumi Fir’un, bahkan lokasi sejarah yang selalu dipadati oleh pengunjung setiap harinya.

“Sekali masuk kira-kira dikutip sebesar Rp200.000 untuk pintu utama, dan Rp200.000 lainnya untuk melihat mumi saja. Bayangan jika jumlah pengunjung yang datang ribuan perharinya,”tandas dia.

Untuk itu, katanya, dirinya sangat mengharapkan adanya kepedulian khusus dari Pemerintah Aceh, untuk dapat melakukan perawatan yang maksimal terhadap sejumlah peninggal sejarah Aceh. Jika ini terjadi, dirinya yakin, sector tersebut akan menjadi tambahan PAD yang tinggi bagi Aceh.

Pembelajaran sejarah lokal yang minim di sekolah
Pemerintah Aceh sebenarnya sudah diberikan sebuah kewenangan khusus di bidang agama, pemerintah, ekonomi dan pendidikan. Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bernomor 11 tahun 2006. Namun sayang kewenangan ini tidak digunakan pemerintah untuk kembali mengangkat sejarah local sebagai pendidikan khusus di sekolah-sekolah, atau pelajaran di muatan local.

Pengakuan Azhari, salah seorang guru sejarah di Aceh Besar, pendidikan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah saat ini masih sangat minim. Pembelajaran sejarah cuma diberikan waktu satu jam dalam satu minggu. Kondisi ini dinilai sangat memprihatikan, dan salah satu sebab generasi muda melupakan sejarah bangsanya.

“Satu jam dalam satu minggu untuk mengajarkan pendidikan sejarah bagi siswa adalah hal yang mustahir. Bagaimana siswa bisa berbakti untu daerah dan negaranya dengan mewarisi siap pahlawan, jika proses pembelajarannya saja cuma diberikan waktu satu jam,”tandas dia.

Belum lagi, tambah Azhari, satu jam waktu yang disediakan untuk mengajar, ternyata adalah cacatan sejarah secara nasional. Sedangkan untuk sejarah local Aceh, hanya mendapatkan ruang beberapa lembar pembahasan.

“Kondisi ini sangat ironis sekali. Sangat salah jika kita menyalahkan generasi muda karena telah melupakan sejarah, sedangkan pelajaran sejarah local yang kita berikan sangat sedikit di sekolah-sekolah,”katanya.

Fitriani, guru sejarah lainnya, kepada penulis juga pernah mengatakan, bahwa dampak dari minimnya pembelajaran sejarah local ini, mengakibatkan pengetahuan masyarakat tentang sejarah Aceh kian sedikit. Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung lama, maka akan banyak cacatan penting dari sejarah Aceh yang hlang nantinya.

“Belum lgi jika ada sumber sejarah hidup atau sejarahwan yang kemudian meninggal dunia. Tidak adanya perawatan situs sejarah seperti yang terjadi hari ini, kurangnya cacatan tentang sejarah lokal, serta pembelajaran sejarah yang kurang di sekolah-sekolah, mengakibatkan siswa melupakan hal ini,”ucapnya.

Pihaknya, lanjut dia, mengharapkan Pemerintah Aceh hari ini sadar akan keadaan seperti ini. “jangan sampai aceh menjadi daerah yang hilang akan indetitas bangsanya. Jika kondisi terus dibiarkan maka buka tidak mungkin hal ini terjadi,”tutur Fitriani.

Pentingnya Peran Pemerintah
Menurut Drs. Mawardi Umar, M. Hum. MA, sejarahwan Aceh, bahwa sikap masyarakat Aceh ini telah menjadi kelemahan yang berakibat fatal. Pemerintah Aceh diminta dapat menyadari hal ini dan melakukan beberapa perubahan dimasa yang akan datang.

“Menjaga situs sejarah memang kewajiban semua masyarakat. Tetapi, Pemerintah Aceh dalam hal ini memiliki peran yang besar. Jika tindakan ini tidak dilakukan oleh pemerintah, maka keterpurukan seperti sekarang akan bertahan selamanya,”jelas dia, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Dirinya mengakui, bahwa dalam hal menjaga sumber-sumber serta peninggalan sejarah sebenarnya merupakan kewajiban semua pihak. Namun pemerintah dinilai memiliki peran terpenting dalam permasalahan ini.

“Hal ini karena pemerintah memilki wewenang dan kemampuan untuk hal ini. Jika sikap ini telah ada, maka msyarakat tinggal mengikuti aturan yang sudah ada. Kondisi seperti ini harus segera diubah,”ucap Ketua Jurusan FKIP Sejarah Unsyiah ini lagi

Dibeberapa kota besar dunia, tambah dia, perawatan sejarah dinilai salah satu hal terpenting. Kota Paris misalnya, biarpun telah berperadaban tinggi, tetapi sejumah bangunan dasar yang memiliki nilai sejarah tetap dipertahankan hingga kini.

“Namun ini terjad sebaliknya di Aceh. Keadaan seperti ini sangat disayangkan,”tandasnya.

Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Rusdi Sufi, Ketua Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Menurutnya, jika daerah lain di nusantara, banyak mitos yang menjadi sejarah, maka di Aceh banyak sejarah yang kini menjadi mitos.

“Hal ini terjadi karena stus-stus sejarah tidak ada perawatan. Sehingga ketika kenjadian sejarah masa lalu kembali diceritakan pada generasi sekarang, tanpa ada bukti sejarah yang masih tertinggal, maka mereka akan menganggapnya sebagai mitos,”ucap dia.

Dirinya berharap Pemerintah Aceh menyadari akan persoalan ini. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara untuk menjaga indentitas daerah Aceh dimata Negara-negara lain dunia.

Peran yang kuat dan pro aktif dari pemerintah dinilai sebuah keharusan untuk menyelamatkan asset-asset sejarah yang tersisa. Jika masih diam diri seperti sekarang, maka bukan hal yang mustahir, kenjadian yang ditakutkan, bahwa Aceh menjadi bangsa yang lupa akan sejarah bangsanya, akan terjadi.

Sumber : http://aneuksejarah.blogspot.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...