Jumat, 16 Maret 2012

Poros Aceh Dengan Malaysia dalam Sejarah

Poros Aceh Dengan Malaysia dalam Sejarah 
oleh Iskandar Norman di http://harian-aceh.com  

Aceh dan Malaysia punya pertalian sejarah yang kuat. Bahkan Aceh pernah sangat berkuasa di negeri jiran tersebut. Ketika Aceh didera konflik Malyasia pun menjadi tempat pelarian yang aman bagi masyarakat Aceh.

Hubungan Aceh dengan Malaysia tidak hanya karena sama-sama rumpun Melayu. Lebih dari itu, ratusan tahun sebelumnya, sejarah keakraban telah terjalin. Sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Aceh di Malaysia mendirikan Koperasi Sabena (selalu ada-red) untuk menunjang aktivitas ekonomi.

Rumah agama milik Sayed Muhamamd Al Attas
Rumah agama milik Sayed Muhamamd Al Attas

Kini koperasi tersebut tidak hanya mengurus soal bisnis dan perdagangan, tapi juga menerbitkan buku-buku dan majalah tentang Aceh. Menariknya, buku-buku itu ditulis dalam bahasa Aceh dengan terjemahan bahasa Melayu.

Antara Melayu dan Aceh merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ada yang menyebutkan Aceh juga bagian dari rumpun Melayu, meski bahasa Aceh jauh berbeda dengan bahasa Melayu. Sejarah Aceh Melayu sudah terukir sejak ratusan tahun lalu. Integrasi itu semakin kuat ketika sama-sama menentang penjajah barat di tahun 1870-an. Malah ratusan tahun sebelumnya, semenanjung Malaysia merupakan bagian dari Kerajaan Aceh.

Di masa Portugis dan Belanda memperluas kekuasaanya ke semenanjung Malaysia. Aceh dikenal gigih menentang penjajahan barat. Labuhan Aceh atau Miley Town, di bagian selatan Pulau Penang, merupakan daerah yang sering dijadikan pintu masuk pejuang dan pedagang Aceh ke Malaysia. Pada abad ke 18, saudagar-saudagar dari Aceh datang ke Malaysia untuk urusan dagang dan diplomasi.

Kala itu, Tengku Sayed Husein al-Aidid, merupakan salah seorang saudagar Aceh yang sangat terkenal dikalangan orang Aceh di Pulau Penang. Ia hijrah dari Aceh ke Pulau Penang, sebagai pedagang rempah-rempah. Memasuki abad ke 19, saudagar-saudagar Aceh mulai menggunakan sungai Penang sebagai pelabuhan, untuk mengangkut hasil pertanian seperti kopra, kopi, karet dan komiditi lainnya dari Aceh. Pulau Penang pun sejak saat itu menjadi pusat ekspor impor komoditi dari Aceh dan Sumatera. Para saudagar Aceh dalam menjalankan bisnis dagangnya, menggunakan kapal Malaysia Raya.

Islamic Museum, Pulau Penang
Islamic Museum, Pulau Penang

Di kawasan itu pula, Teungku Sayed Husein al Aidid, pada tahun 1808 mendirikan sebuah mesjid, yang dikenal dengan mesjid Melayu. Ia meninggal pada tahun 1820-an, dan dikuburkan di komplek mesjid tersebut. Keluarganya juga dikuburkan di komplek itu.

Saudagar Aceh lainnya adalah Sayed Muhammad al Attas. Pada tahun 1860-an, ia mendirikan Rumah Agama Sayed al Attas. Masa hidupnya, al Attas mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya merupakan kerabat keluarga Diraja Melayu. Sementara istri keduanya adalah anak dari Khoo Tiang Poh, seorang saudagar lada hitam dari Cina Selatan.

Pada masa perjuangan rakyat Aceh menentang Belanda, Sayed Muhammad al Attas mengalang sejumlah bantuan untuk pejuang Aceh. Pada tahun 1880-an, dari Malaysia ia mengirim senjata untuk pejuang Aceh. Rumahnya pun, sering dipakai sebagai markas atau tempat pertemuan rahasia para pejuang Aceh, baik dalam menggalang diplomasi luar negeri, maupun mencari perbekalan senjata.

Generasi Aceh selanjutnya, ada P Ramlee yang sampai kini masih fenomenal di Malaysia. Seniman asal Aceh Utara ini malah mendapat gelar kehormatan Tan Sri dari pemerintah Malaysia, karena dedikasinya dalam mengembangkan seni di negeri jiran itu.

Tan Sri P Ramlee merupakan generasi kedua orang Melayu Aceh yang sukses di Malaysia. Dalam kiprahnya sebagai seniman, ia menerima berbagai anugrah. Kini, semua barang artis, pengarang, dan penyanyi legendaris itu disimpan dalam Galeri P Ramlee, di Lot 2180 Jalan P Ramlee, Pulau Penang.

Di galeri itu berbagai khazanah milik P Ramlee tersimpan dengan baik, termasuk koleksi film dan alat musik kesayangannya. Rumah tempat P Ramlee lahir, sampai kini pun masih terawat dengan baik. Rumah itu masih lengkap dengan perabotan tempo doelo. Keaslian rumah dan parabotannya, sampai kini masih terpelihara.
Kontak dagang antara pengusaha Aceh dengan Malaysia, Singapura dan beberapa negara Asean lainnya, bukanlah cerita baru. Di zaman penjajahan Belanda, kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia dan Singapura, para eksportir asal Aceh itu mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.

Rumah Sayed Muhammad al Attas
Rumah Sayed Muhammad Al Attas

Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura itu lebih tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Betapa tidak, setiap saat kapal-kapal yang membawa barang ke dua negara jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.

Salah satu yang sangat fenomenal adalah, usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie. Warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini, mendapat perintah dari Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual karet dari Aceh ke semenanjung Malaysia. Hasilnya, digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, H. Agus Salim.

Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak dagang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT. Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara.

Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut, dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupkan oleh Jhon Lie. Sampai  di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut di tampung oleh para pengusaha asal Aceh, diantaranya, Teuku Manyak, Ja’far Hanafiah, dan Ali Basyah Tawi.

Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan semakin memburuk, maka daerah Keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948, Sumatera Utara juga mengeluarkan uang kertas sendiri.

Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja—2 Mei-8 Mei 1949—dicetak uang rupiah Oripsu 156.750.000, yang terdiri atas 405.000 lembaran Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.

Adalah Abdul Muid, Pegawai Keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang Oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas untuk mempertahankan nilai banding uang Oripsu dengan dolar Singapura.

Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan dolar Singapura tak dapat dipertahankan.
Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI, tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebanyak 500.000.000. Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya import barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.

Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya, pembentukan suatu badang penyehatan, yang diketuai oleh M Nur El Ibrahimi. Tugas badan ini, mempertinggi produksi dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.

Namun nasib para saudagar Aceh, eksportir barang ke semenanjung Malaysia, akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949, Syarifuudin Prawiranegara, mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas exspor barang dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan keluarnya Peraturan Wakil Perdana Menteri tanggal 17 Oktober 1949, nomor 1/1949/WPM, yang mencabut Ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948, nomor 7, yang mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi. Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut, sangat bertentangan dengan kebijakan yang sebelumnya diambil oleh pemerintah daerah, soal ekspor-impor barang dari dan ke semenanjung Malaysia.

Lebih ironisnya lagi, para saudagar Aceh yang melakukan kontak dagang dengan pengusaha di semenanjung Malaysia, setelah Indonesia benar-benar merdeka, tidak memperoleh perlakuan yang wajar dari pemerintah. Hutang getah yang masih harus diperoleh dari pemerintah, atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.

Hanya Muhammad Saman, yang berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran utang dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya oleh pemerintah. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.

Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor 335/1952 G, tangal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh, dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, mempunyai kekebalan hukum, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.

Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1996 PT Perdata, tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.

Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai di situ, ia pun kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi tersebut. lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada para saudagar Aceh.

Pasca perjanjian damai, 15 Agustus 2005 lalu, GAM kembali membuka diplomasi dagang ke sejumlah negara termasuk Malaysia, dengan Aceh Word Trade Centre (AWCT) sebagai sayap dagangnya, meski kemudian kiprahnya mulai tenggelam.[]

Sumber : http://harian-aceh.com/
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...