Poros Aceh Dengan Malaysia dalam Sejarah
oleh Iskandar Norman di http://harian-aceh.com
Aceh dan Malaysia punya pertalian sejarah yang kuat. Bahkan Aceh pernah sangat berkuasa di negeri jiran tersebut. Ketika Aceh didera konflik Malyasia pun menjadi tempat pelarian yang aman bagi masyarakat Aceh.
Hubungan Aceh dengan Malaysia tidak hanya karena sama-sama
rumpun Melayu. Lebih dari itu, ratusan tahun sebelumnya, sejarah
keakraban telah terjalin. Sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Aceh
di Malaysia mendirikan Koperasi Sabena (selalu ada-red) untuk menunjang
aktivitas ekonomi.
Kini koperasi tersebut tidak hanya mengurus soal bisnis
dan perdagangan, tapi juga menerbitkan buku-buku dan majalah tentang
Aceh. Menariknya, buku-buku itu ditulis dalam bahasa Aceh dengan
terjemahan bahasa Melayu.
Antara Melayu dan Aceh merupakan dua hal yang tak bisa
dipisahkan. Ada yang menyebutkan Aceh juga bagian dari rumpun Melayu,
meski bahasa Aceh jauh berbeda dengan bahasa Melayu. Sejarah Aceh
Melayu sudah terukir sejak ratusan tahun lalu. Integrasi itu semakin
kuat ketika sama-sama menentang penjajah barat di tahun 1870-an. Malah
ratusan tahun sebelumnya, semenanjung Malaysia merupakan bagian dari
Kerajaan Aceh.
Di masa Portugis dan Belanda memperluas kekuasaanya ke
semenanjung Malaysia. Aceh dikenal gigih menentang penjajahan barat.
Labuhan Aceh atau Miley Town, di bagian selatan Pulau Penang, merupakan
daerah yang sering dijadikan pintu masuk pejuang dan pedagang Aceh ke
Malaysia. Pada abad ke 18, saudagar-saudagar dari Aceh datang ke
Malaysia untuk urusan dagang dan diplomasi.
Kala itu, Tengku Sayed Husein al-Aidid, merupakan salah
seorang saudagar Aceh yang sangat terkenal dikalangan orang Aceh di
Pulau Penang. Ia hijrah dari Aceh ke Pulau Penang, sebagai pedagang
rempah-rempah. Memasuki abad ke 19, saudagar-saudagar Aceh mulai
menggunakan sungai Penang sebagai pelabuhan, untuk mengangkut hasil
pertanian seperti kopra, kopi, karet dan komiditi lainnya dari Aceh.
Pulau Penang pun sejak saat itu menjadi pusat ekspor impor komoditi
dari Aceh dan Sumatera. Para saudagar Aceh dalam menjalankan bisnis
dagangnya, menggunakan kapal Malaysia Raya.
Di kawasan itu pula, Teungku Sayed Husein al Aidid, pada
tahun 1808 mendirikan sebuah mesjid, yang dikenal dengan mesjid Melayu.
Ia meninggal pada tahun 1820-an, dan dikuburkan di komplek mesjid
tersebut. Keluarganya juga dikuburkan di komplek itu.
Saudagar Aceh lainnya adalah Sayed Muhammad al Attas. Pada
tahun 1860-an, ia mendirikan Rumah Agama Sayed al Attas. Masa hidupnya,
al Attas mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya merupakan kerabat
keluarga Diraja Melayu. Sementara istri keduanya adalah anak dari Khoo
Tiang Poh, seorang saudagar lada hitam dari Cina Selatan.
Pada masa perjuangan rakyat Aceh menentang Belanda, Sayed
Muhammad al Attas mengalang sejumlah bantuan untuk pejuang Aceh. Pada
tahun 1880-an, dari Malaysia ia mengirim senjata untuk pejuang Aceh.
Rumahnya pun, sering dipakai sebagai markas atau tempat pertemuan
rahasia para pejuang Aceh, baik dalam menggalang diplomasi luar negeri,
maupun mencari perbekalan senjata.
Generasi Aceh selanjutnya, ada P Ramlee yang sampai kini
masih fenomenal di Malaysia. Seniman asal Aceh Utara ini malah mendapat
gelar kehormatan Tan Sri dari pemerintah Malaysia, karena dedikasinya
dalam mengembangkan seni di negeri jiran itu.
Tan Sri P Ramlee merupakan generasi kedua orang Melayu
Aceh yang sukses di Malaysia. Dalam kiprahnya sebagai seniman, ia
menerima berbagai anugrah. Kini, semua barang artis, pengarang, dan
penyanyi legendaris itu disimpan dalam Galeri P Ramlee, di Lot 2180
Jalan P Ramlee, Pulau Penang.
Di galeri itu berbagai khazanah milik P Ramlee tersimpan
dengan baik, termasuk koleksi film dan alat musik kesayangannya. Rumah
tempat P Ramlee lahir, sampai kini pun masih terawat dengan baik. Rumah
itu masih lengkap dengan perabotan tempo doelo. Keaslian rumah dan
parabotannya, sampai kini masih terpelihara.
Kontak dagang antara pengusaha Aceh dengan Malaysia,
Singapura dan beberapa negara Asean lainnya, bukanlah cerita baru. Di
zaman penjajahan Belanda, kisah perjudian nasib dilakoni para saudagar
Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan komoditas lainnya ke Malaysia
dan Singapura, para eksportir asal Aceh itu mesti bertarung di lautan
dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.
Penjualan barang ke Malaysia dan Singapura itu lebih
tepatnya disebut sebagai penyeludupan. Betapa tidak, setiap saat
kapal-kapal yang membawa barang ke dua negara jiran itu, harus
mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli di Selat Malaka.
Salah satu yang sangat fenomenal adalah, usaha
penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie. Warga Indonesia
keturunan Cina asal Menado ini, mendapat perintah dari Menteri
Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual karet dari Aceh ke
semenanjung Malaysia. Hasilnya, digunakan untuk membiayai perjalanan
keliling dunia Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, H. Agus Salim.
Beberapa saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak
dagang dengan negeri jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT.
Puspa, Nyak Neh dari Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan
Indonesia Muda (PIM) dan Abdul Gani dari Mutiara.
Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut,
dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupkan oleh Jhon Lie. Sampai
 di Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut di tampung oleh para
pengusaha asal Aceh, diantaranya, Teuku Manyak, Ja’far Hanafiah, dan
Ali Basyah Tawi.
Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar
uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan semakin memburuk,
maka daerah Keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat
dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948,
Sumatera Utara juga mengeluarkan uang kertas sendiri.
Untuk menopang perekonomian, serta sebagai alat transaksi, selama
tujuh hari saja—2 Mei-8 Mei 1949—dicetak uang rupiah Oripsu
156.750.000, yang terdiri atas 405.000 lembaran Rupiah Oripsu 250, dan
111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.
Adalah Abdul Muid, Pegawai Keuangan yang bertanggungjawab atas
percetakan dan pengedaran uang Oripsu tersebut. Selain itu ia juga
bertugas untuk mempertahankan nilai banding uang Oripsu dengan dolar
Singapura.
Namun keseimbangan antara uang Oripsu dengan dolar Singapura tak dapat dipertahankan.
Akhirnya pada 16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor
302/RI, tentang penetapan penarikan uang Oripsu sebanyak 500.000.000.
Kondisi ini semakin diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari.
Berkurangnya import barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup
semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengambil
beberapa tindakan, diantaranya, pembentukan suatu badang penyehatan,
yang diketuai oleh M Nur El Ibrahimi. Tugas badan ini, mempertinggi
produksi dalam negeri dan impor barang yang dibutuhkan dari luar negeri.
Namun nasib para saudagar Aceh, eksportir barang ke
semenanjung Malaysia, akhirnya terpuruk, karena pada 22 September 1949,
Syarifuudin Prawiranegara, mengeluarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri
Nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang adanya aktivitas exspor barang
dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan keluarnya
Peraturan Wakil Perdana Menteri tanggal 17 Oktober 1949, nomor
1/1949/WPM, yang mencabut Ketetapan Komisaris Pemerintah Pusat
Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948, nomor 7, yang mengatur soal
pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil bumi.
Kebijaksanaan yang diambil oleh Wakil Perdana Menteri tersebut, sangat
bertentangan dengan kebijakan yang sebelumnya diambil oleh pemerintah
daerah, soal ekspor-impor barang dari dan ke semenanjung Malaysia.
Lebih ironisnya lagi, para saudagar Aceh yang melakukan
kontak dagang dengan pengusaha di semenanjung Malaysia, setelah
Indonesia benar-benar merdeka, tidak memperoleh perlakuan yang wajar
dari pemerintah. Hutang getah yang masih harus diperoleh dari
pemerintah, atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.
Hanya Muhammad Saman, yang berhasil memperoleh haknya
setelah menggugat pemerintah ke pengadilan. Sementara Abdul Gani
Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak memperoleh pembayaran utang
dari negara. Hak mereka atas perjanjian jual beli ditolak pembayarannya
oleh pemerintah. Untuk memperoleh haknya, para saudagar itu pun
menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Raya, melalui putusan nomor
335/1952 G, tangal 13 Juli 1965, menolak tuntutan Nyak Neh, dengan
alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, mempunyai kekebalan
hukum, tidak dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan
tersebut akan menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat
di Aceh.
Nyak Neh kemudian melakukan banding ke Pengadilan Tinggi
Jakarta. Namun lagi-lagi kandas. Melalui putusan nomor 212/1996 PT
Perdata, tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan Tinggi Jakarta dalam amar
putusannya menolak upaya banding tersebut.
Namun Nyak Neh tidak berhenti sampai di situ, ia pun
kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA dalam
putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968, menolak kasasi
tersebut. lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar hutangnya pada
para saudagar Aceh.
Pasca perjanjian damai, 15 Agustus 2005 lalu, GAM kembali
membuka diplomasi dagang ke sejumlah negara termasuk Malaysia, dengan
Aceh Word Trade Centre (AWCT) sebagai sayap dagangnya, meski kemudian
kiprahnya mulai tenggelam.[]
Sumber : http://harian-aceh.com/
Sumber : http://harian-aceh.com/