Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa melupakan sejarah
bangsanya. Bangsa yang besar, juga bukan bangsa yang terbuai dengan
kemegahan sejarah masa lalu. Namun peristiwa inilah yang terjadi pada
masyarakat Aceh hari ini.
Sebahagian masyarakat kecenderungan
terbuai dengan masa ke-emasan Kerajaan Aceh dibawah kendali Sultan
Iskandar Muda. Namun sebahagian lagi bahkan telah melupakan sejarah
bangsa sehingga menjadi factor utama keterpurukan bangsa ini.
Sikap
mengagungkan kejayaan masa lalu tanpa adanya petikan hikmah dan
semangat melakukan perubahan dinilai telah menyebabkan Aceh kian jatuh
dan terpuruk selama puluhan tahun belakang. Kondisi ini, kian ditambah
dengan konflik serta gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di akhir
tahun 2004 lalu.
Beberapa peninggalan sejarah di Aceh, seperti
makam raja-raja terdahulu, makam ulama besar seperti Syiah Kuala, kini
terabaikan. Benteng Indra Patra, indra purwa serta benteng pertahanan
yang terdapat di pesisir Aceh Besar, diterlantarkan, sedangkan
peninggalan lain, seperti Aceh Hotel, kini telah lenyap tak tersisa.
Bukan
cuma itu, pembelajaran tentang sejarah yang minim di tingkat sekolah
juga menyebabkan para generasi mudah lupa akan sejarah bangsa. Kondisi
ini kian ditambah, dengan minimnya pembukuan tentang sejarah local itu
sendri, jual-beli manuship berharga serta ditambah sikap apatis
pemerintah dalam merawat peninggalan bersejarah.
Dengan kondisi
yang sedemikian kompit, maka pantaslah Aceh diklaim sebagai salah satu
daerah yang kurang menghargai jasa para pendirinya. Kondisi ini sudah
berlangsung sejak lama sehingga sumber-sumber sejarah yang semestinya
mash tertata rapi, kini raib.
Keadaan seperti ini berbeda jauh dengan Negara-negara maju yang melestarikan peninggalan sejarahnya.
Makam Syiah Kuala Yang Terabaikan
Keberadaan
Makam Syiah Kuala atau Syech Abdulrauf As-Singkili d Desa Tibang, Kota
Banda Aceh, sebenar adalah salah satu bukti dan bentuk penelantaran dari
Pemerintah.
Pemugaran Komplek Makam Syiah Kuala yang merupakan
salah satu situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004
dinilai masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Kondisi
ini terlepas dari adanya sengketa kepengurusan antara Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan Yayasan Makam Syiah Kuala
(Yamsika) yang kini mengelola komplek tersebut.
Menurut, Drs. H.
Machmud Ika, Ketua Yamsika, Makam Syiah Kuala yang merupakan salah satu
situs sejarah terpenting milik Aceh pasca tsunami tahun 2004 dinilai
masih sangat terabaikan dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Namun
hingga kini belum ada pihak-pihak yang berniat untuk kembali
memugarkannya.
Padahal, peran Syech Abdulrauf atau Syiah Kuala
bagi masyarakat Aceh, semasa hidupnya sangatlah besar. Syiah Kuala
pernah menjabat sebagai kadhi malkul adil di Kerajaan Aceh pada masa
Iskandar Muda hingga Sultanah Kamalatuddin Inayat Syah (baca buku A.
Hasyimi, dengan judul 69 tahun Aceh merdeka dibawah pemerintahan para
ratu-red).
Syiah Kuala juga pernah menjadi guru besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Serambi Mekkah ini, sehingga namanya
diabadikan sebagai nama salah satu universtas terbesar Aceh
(Unsyiah-red). Namun semua pengabdiannya tersebut sepertinya tidak
penting, sehingga kondisi makamnya saja masih kurang perawatan.
“Kondisi
ini kian ditambah dengan adanya sengketa kepengurusan antara Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dengan kami,” ucap
Machmud, beberapa waktu lalu.
Kata dia, akibat adanya sengketa
ini, membuat sejumlah donator dan pihak luar yang ingin membangun dan
memugarkan komplek makam itu, selalu kesulitan memperoleh izin dari
pemerintah. situs sejarah yang seharusnya terlindungi, akhirnya
terabaikan.
“Ini yang sangat kami sayangnya. Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Kota Banda Aceh dan badan pelayanan perizinan
terpadu, sepertinya selalu mempersulit pengeluaran izin pemugaran dan
renovasi Komplek Makam Syiah Kuala ini,”jelas Machmud.
Katanya,
beberapa waktu lalu, telah ada donator dari Malaysia, bernama H.W.M
Fadzil.Z yang ingin memugarkan kompek situs sejarah ini kembali.
Rencananya, pembaikan yang direncanakan, memakan biaya hingga ratusan
juta rupiah ini akan dilaksanakan pada pertengahan desember 2009 ini.
“Namun
karena tidak ada izin, terpaksa kerjasama ini tertunda. Kami berharap
ada perhatian khusus dari Gubernur dan Wakil Gubernur mengenai hal
ini,”tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pelayanan Terpadu,
Drs. Muhammad Yahya, M.Si, melalui surat bernomor 432.2/BP2T/1178/2009
yang ditunjukan kepada Ketua Yamsika, tertanggal 16 Desember,
menjelaskan bahwa penolakan izin pemugaran dan pencarian donatur oleh
pihaknya, karena adanya surat pertimbangan teknis dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala.
“Surat tersebut berisi bahwa Yayasan
Yamsika bukanlah ahli waris Makam Syiah Kuala. Atas dasar tersebut, kami
tidak bisa memberi izin,”tulisnya.
Sementara Kondisi makam yang
hanya dipalangi dengan kayu bercat putih, memberi gambaran ketidak
sesuaian antara kiprah sosok Syiah Kuala masa hidupnya dengan kondisi
kekinian.
Wisata Sejarah Masih Kurang Diperhatikan
Tidak
hanya Makam Syiah Kuala. Banyaknya warisan budaya dan situs sejarah
penting yang terdapat di Provinsi Aceh hingga kini, dinilai juga belum
dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sejumlah situs-situs sejarah yang
terdapat di Aceh, bahkan terkesan masih terabaikan dan kurang
diperhatikan oleh pemerintah.
“Padahal jika dimanfaatkan secara
maksimal bisa jadi sebagai pemasukan devisa negara terbesar. Ini
keunggulan kita yang belum mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah,”ucap Dr. Misri A. Muchsin, M.Ag, Dekan Fakultas Adap IAIN
Ar-Raniry, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, peninggalan sejarah
itu seperti Benteng Indra Patra yang terdapat di Desa Ladong, Kabupaten
Aceh Besar. Kemudian ada juga peninggalan sejarah lainnya, seperti
benteng pertahanan masa peperangan Aceh yang terdapat di sepanjang
pesisir Aceh Besar, tetapi kurang mendapatkan perawatan dan hampir
hancur karena rusak.
“Banyak situs sejarah lainnya yang memiliki
makna sejarah tinggi, tetapi kurang mendapatkan perhatian pemerintah.
Hal ini sangat kita sayangkan terjadi,”jelas dia.
Katanya lagi,
sejumlah negara-negara maju dan berperadaban tinggi, seperti Mesir,
hingga hari ini masih mempertahankan peninggalan sejarahnya. Sejumlah
tempat pengawetan Mumi Fir’un, bahkan lokasi sejarah yang selalu
dipadati oleh pengunjung setiap harinya.
“Sekali masuk kira-kira
dikutip sebesar Rp200.000 untuk pintu utama, dan Rp200.000 lainnya
untuk melihat mumi saja. Bayangan jika jumlah pengunjung yang datang
ribuan perharinya,”tandas dia.
Untuk itu, katanya, dirinya sangat
mengharapkan adanya kepedulian khusus dari Pemerintah Aceh, untuk dapat
melakukan perawatan yang maksimal terhadap sejumlah peninggal sejarah
Aceh. Jika ini terjadi, dirinya yakin, sector tersebut akan menjadi
tambahan PAD yang tinggi bagi Aceh.
Pembelajaran sejarah lokal yang minim di sekolah
Pemerintah
Aceh sebenarnya sudah diberikan sebuah kewenangan khusus di bidang
agama, pemerintah, ekonomi dan pendidikan. Kewenangan ini diatur dalam
Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bernomor 11 tahun 2006. Namun
sayang kewenangan ini tidak digunakan pemerintah untuk kembali
mengangkat sejarah local sebagai pendidikan khusus di sekolah-sekolah,
atau pelajaran di muatan local.
Pengakuan Azhari, salah seorang
guru sejarah di Aceh Besar, pendidikan sejarah yang diajarkan di
sekolah-sekolah saat ini masih sangat minim. Pembelajaran sejarah cuma
diberikan waktu satu jam dalam satu minggu. Kondisi ini dinilai sangat
memprihatikan, dan salah satu sebab generasi muda melupakan sejarah
bangsanya.
“Satu jam dalam satu minggu untuk mengajarkan
pendidikan sejarah bagi siswa adalah hal yang mustahir. Bagaimana siswa
bisa berbakti untu daerah dan negaranya dengan mewarisi siap pahlawan,
jika proses pembelajarannya saja cuma diberikan waktu satu jam,”tandas
dia.
Belum lagi, tambah Azhari, satu jam waktu yang disediakan
untuk mengajar, ternyata adalah cacatan sejarah secara nasional.
Sedangkan untuk sejarah local Aceh, hanya mendapatkan ruang beberapa
lembar pembahasan.
“Kondisi ini sangat ironis sekali. Sangat
salah jika kita menyalahkan generasi muda karena telah melupakan
sejarah, sedangkan pelajaran sejarah local yang kita berikan sangat
sedikit di sekolah-sekolah,”katanya.
Fitriani, guru sejarah
lainnya, kepada penulis juga pernah mengatakan, bahwa dampak dari
minimnya pembelajaran sejarah local ini, mengakibatkan pengetahuan
masyarakat tentang sejarah Aceh kian sedikit. Jika kondisi ini
dibiarkan berlangsung lama, maka akan banyak cacatan penting dari
sejarah Aceh yang hlang nantinya.
“Belum lgi jika ada sumber
sejarah hidup atau sejarahwan yang kemudian meninggal dunia. Tidak
adanya perawatan situs sejarah seperti yang terjadi hari ini, kurangnya
cacatan tentang sejarah lokal, serta pembelajaran sejarah yang kurang di
sekolah-sekolah, mengakibatkan siswa melupakan hal ini,”ucapnya.
Pihaknya,
lanjut dia, mengharapkan Pemerintah Aceh hari ini sadar akan keadaan
seperti ini. “jangan sampai aceh menjadi daerah yang hilang akan
indetitas bangsanya. Jika kondisi terus dibiarkan maka buka tidak
mungkin hal ini terjadi,”tutur Fitriani.
Pentingnya Peran Pemerintah
Menurut
Drs. Mawardi Umar, M. Hum. MA, sejarahwan Aceh, bahwa sikap masyarakat
Aceh ini telah menjadi kelemahan yang berakibat fatal. Pemerintah Aceh
diminta dapat menyadari hal ini dan melakukan beberapa perubahan dimasa
yang akan datang.
“Menjaga situs sejarah memang kewajiban semua
masyarakat. Tetapi, Pemerintah Aceh dalam hal ini memiliki peran yang
besar. Jika tindakan ini tidak dilakukan oleh pemerintah, maka
keterpurukan seperti sekarang akan bertahan selamanya,”jelas dia, kepada
penulis beberapa waktu lalu.
Dirinya mengakui, bahwa dalam hal
menjaga sumber-sumber serta peninggalan sejarah sebenarnya merupakan
kewajiban semua pihak. Namun pemerintah dinilai memiliki peran
terpenting dalam permasalahan ini.
“Hal ini karena pemerintah
memilki wewenang dan kemampuan untuk hal ini. Jika sikap ini telah ada,
maka msyarakat tinggal mengikuti aturan yang sudah ada. Kondisi seperti
ini harus segera diubah,”ucap Ketua Jurusan FKIP Sejarah Unsyiah ini
lagi
Dibeberapa kota besar dunia, tambah dia, perawatan sejarah
dinilai salah satu hal terpenting. Kota Paris misalnya, biarpun telah
berperadaban tinggi, tetapi sejumah bangunan dasar yang memiliki nilai
sejarah tetap dipertahankan hingga kini.
“Namun ini terjad sebaliknya di Aceh. Keadaan seperti ini sangat disayangkan,”tandasnya.
Hal
yang hampir sama juga diungkapkan oleh Rusdi Sufi, Ketua Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA). Menurutnya, jika daerah lain di
nusantara, banyak mitos yang menjadi sejarah, maka di Aceh banyak
sejarah yang kini menjadi mitos.
“Hal ini terjadi karena
stus-stus sejarah tidak ada perawatan. Sehingga ketika kenjadian sejarah
masa lalu kembali diceritakan pada generasi sekarang, tanpa ada bukti
sejarah yang masih tertinggal, maka mereka akan menganggapnya sebagai
mitos,”ucap dia.
Dirinya berharap Pemerintah Aceh menyadari akan
persoalan ini. Hal ini dinilai sebagai salah satu cara untuk menjaga
indentitas daerah Aceh dimata Negara-negara lain dunia.
Peran
yang kuat dan pro aktif dari pemerintah dinilai sebuah keharusan untuk
menyelamatkan asset-asset sejarah yang tersisa. Jika masih diam diri
seperti sekarang, maka bukan hal yang mustahir, kenjadian yang
ditakutkan, bahwa Aceh menjadi bangsa yang lupa akan sejarah bangsanya,
akan terjadi.
Sumber : http://aneuksejarah.blogspot.com